W H Whyte mempublikasikan karyanya, “The Organization Man,” pada tahun 1956. Karya tersebut merupakan upaya awal – bahkan mungkin upaya yang pertama sekali – untuk menggambarkan dampak dari budaya sebuah organisasi terhadap perilaku karyawannya. Sejak tahun 1956 kita semua telah mulai menyadari bahwa ada terdapat berbagai jenis budaya, yang masing-masing disertai dengan jenis-jenis perilaku yang berbeda. Dengan demikian, definisi yang menyatakan bahwa budaya adalah “cara kita melakukan berbagai hal di sekitar kita” merupakan definisi yang tepat.
Budaya korporasi yang kuat adalah hal yang sangat berguna. Ia membuat proses pengambilan keputusan menjadi lebih dapat diprediksi. Ia membantu para perekrut untuk mempekerjakan orang-orang yang akan cocok bekerja di dalan sebuah korporasi. Ia bahkan memberikan kontribusi pada nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah merek perusahaan.
Akan tetapi, budaya perusahaan juga dapat memiliki kekurangan ketika para staf diharuskan berperilaku di luar norma budaya mereka. Contohnya, akan sulit bagi seorang manajer yang terbiasa dengan budaya bisnis yang mengalir bebas ketika ia dihadapkan pada penerapan standar-standar keselamatan secara ketat. Itulah sebabnya mengapa di seluruh dunia, bekerja untuk perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi merupakan sesuatu yang sangat berbahaya.
Hampir seluruh budaya korporasi yang efektif akan memberikan penghargaan pada kesuksesan, sementara sebagian besar lainnya akan mencemooh kegagalan. Hal seperti ini cenderung menghasilkan pola pikir yang selalu ingin menghindari resiko pada sebagian besar karyawan. Dan ini adalah pola pikir yang terburuk apabila kita ingin belajar bahasa.
Ketika sebuah organisasi menginginkan karyawannya mempelajari sebuah bahasa asing, seketika itu pula terjadi benturan budaya.
Cobalah pikirkan. Setiap kali seorang pembelajar bahasa membuka mulut, atau mengangkat pena, untuk menghasilkan sepotong ungkapan dalam bahasa asing, ia harus mengambil resiko bahwa apa yang dihasilkannya akan “salah” karena satu atau lain alasan. Biasanya tidak sepenuhnya salah, melainkan kurang tepat atau secara situasional kurang cocok. Semakin sering mereka mengambil resiko, semakin banyak yang akan mereka pelajari. Belajar bahasa berarti berani mengambil resiko. Kalau kita semua menolak menghasilkan sebuah ungkapan bahasa yang mungkin salah, kita tidak akan pernah mampu menggunakan bahasa lain kecuali bahasa asli kita sendiri.
Di tahun-tahun pertama kehidupan kita, kita mempelajari bahasa dengan intensitas yang tinggi. Kita menghasilkan kemajuan yang sangat pesat setiap harinya. Sewaktu kecil, kita tidak tahu bahwa kita harus menghindari kegagalan, jadi kita mulai berbicara dengan mengucapkan berbagai bunyi, lalu meningkat menjadi kalimat berisi satu kata, dan perlahan-lahan kelancaran kita dalam berbicarapun tumbuh.
Sebagai seorang pebelajar yang sudah memasuki usia dewasa, kita mungkin tidak akan pernah belajar dengan kecepatan yang sama seperti halnya kecepatan seorang anak kecil, tetapi kita bisa meningkatkan kesempatan kita dengan secara aktif merengkuh kemungkinan bahwa kita melakukan kesalahan, lalu belajar dari kesalahan tersebut, dan terus maju. Kita perlu mengesampingkan budaya korporasi kita dan berfokus pada proses belajar itu sendiri, dan berhenti memikirkan bahwa apa yang akan kita ucapkan atau tuliskan mungkin “salah”.
Lingkungan fisik yang netral dan santai bisa membantu mengatasi benturan tadi. Jauh dari kantor, kita mungkin akan merasa lebih mudah melupakan budaya kantor. Tetapi tetap saja, guru yang hebat adalah kuncinya. Guru yang akan membantu anda mencapai kemajuan tanpa rasa takut akan kegagalan. Guru yang akan memastikan bahwa proses belajar anda menyenangkan, dan membuat anda terkagum-kagum akan kemajuan yang anda sendiri capai .