Sewaktu muda, saya tinggal dan bekerja selama tiga tahun di Jepang. Dalam banyak sisi, tiga tahun tersebut memberi saya pengalaman yang penuh informasi dan membentuk kepribadian saya, terlebih karena saya mengalami sendiri yang namanya gegar budaya atau culture shock, bagaimana rasanya, dan bagaimana mengatasinya.
Culture shock atau gegar budaya adalah hal yang nyata. Ia terjadi di mana saja, sangat terasa dan biasanya datang tiba-tiba. Makanya disebut shock!
Budaya negara asal kita tertanam secara mendalam di masa kecil. Kita tidak perlu melakukan hal khusus apapun untuk memperoleh budaya ini. Cukuplah kita tumbuh dewasa dan bergaul dalam masyarakat, bertemu teman dari negara dan budaya yang sama, mengikuti perkembangan terbaru di bidang mode, teknologi dan berita hangat lainnya. Budaya seringkali didefinisikan sebagai “cara orang melakukan berbagai hal di suatu wilayah”, dan ini berlaku untuk seluruh budaya di sebuah negara, wilayah atau bahkan kampung kecil, serta budaya dalam berbisnis. Budaya adalah sekumpulan peraturan, seringkali tak tertulis, yang mengatur perilaku kita.
Kalau anda seperti saya, pindah dari Inggris ke Jepang, maka andapun akan terkaget-kaget melihat betapa berbedanya tata cara di kedua tempat! Reaksi pertama saya adalah bersemangat. Saya merasa seperti seorang penjelajah yang sedang memasuki sebuah dunia baru yang mengagumkan. Saya mencoba bahasa baru, lokasi baru, teknologi baru, dan standar-standar baru dalam hal berpakaian, transportasi, perilaku…segalanya penuh dengan hal-hal menarik dan berbagai kemungkinan. Inilah tahap satu culture shock. Tahap di mana anda merasa bersemangat. Tahap ini bisa berlangsung selama beberapa hari atau beberapa bulan.
Setelah beberapa lama, andapun mulai beradaptasi. Hal-hal yang sebelumnya terlihat menarik mulai terasa normal atau bahkan mulai terasa menyebalkan. Pada kasus saya, saya menemukan bahwa setelah mencoba beberapa bulan, saya baru menyadari bahwa saya benar-benar tidak suka makanan Jepang. Saya lupa betapa hebatnya sistem perkereta-apian di Jepang dan ramahnya pelayanan di toko-toko. Saya justru sibuk mencari berbagai cara supaya saya tidak harus makan sushi, sashimi, rumput laut, telur mentah, dan mie yang hambar. Saya benar-benar tidak suka (dulu dan sekarang!). Saya tak habis pikir kenapa membuang-buang makanan untuk menghasilkan menu yang sama sekali tidak enak (buat saya!). Saya juga mulai terganggu karena penampilan saya yang jelas-jelas “orang asing” membuat saya terlihat berbeda di tengah orang banyak, apalagi karena masyarakat Jepang selalu memandangi orang yang asing bagi mereka. Tahap ketidakpuasan ini berlangsung selama lebih dari enam bulan bagi saya.
Sesudahnya muncullah tahapan yang lebih seimbang. Saya mulai menerima bahwa ada beberapa aspek dalam budaya baru ini yang memang mengesankan, tapi ada juga yang menyebalkan, dan bahwa kita bisa saja memperoleh kehidupan yang seimbang dan menyenangkan di antaranya. Anda akan mulai berhenti merasa kesal akibat hal-hal yang tidak anda suka dan tidak bisa anda ubah, dan anda secara sadar menghargai aspek-aspek yang berguna bagi anda. Menurut perkiraan saya, tahapan penerimaan ini bisa berlangsung selama bertahun-tahun.
Sayangnya, masih ada satu lagi tahapan culture shock yang harus anda hadapi. Tahap ini disebut “re-entry shock” atau shock ketika anda kembali ke negara asal. Ketika anda pulang ke negara asal anda, baik untuk kunjungan singkat atau pindah permanen, perbedaan antara kebudayaan di negara asal dan kebudayaan baru yang telah anda adaptasi akan mengakibatkan shock yang sama berulang. Hal-hal yang anda kenal baik dari masa kecil anda mulai sulit anda kenali. Beberapa di antaranya menyenangkan: suara orang bicara dalam bahasa asli anda, bertemu dengan sanak saudara. Tapi pasti akan ada hal-hal tertentu yang sebelumnya anda remehkan dan kini mulai terasa sulit dipercaya, kurang teratur, atau primitif. Pengalaman saya, setelah saya tinggal di Jepang selama 3 tahun, Inggris terasa sangat kurang teratur, kurang aman, dan kualitas pelayanan di berbagai toko dan alat transportasi umum sangat buruk. (Ini di akhir tahun 1970an, lho. Suasananya sudah jauh lebih baik sekarang!). Tapi toh tetap saja menyenangkan rasanya bisa bergabung dengan orang banyak tanpa terlihat berbeda, tanpa dipandangi seperti sesuatu yagn asing. Saya juga bisa membeli baju yang pas ukurannya! Sampai sekarang, saya masih merasakan gegar budaya ini, meskipun dalam skala kecil.
Itulah telaah singkat mengenai culture shock. Nah, bagaimana cara menghadapinya? Kabar baiknya adalah bahwa anda sudah memulai proses menghadapinya. Membaca tentang sebuah masalah sudah merupakan langkah awal untuk mempersiapkan anda menghadapinya dalam kenyataan. Semakin banyak anda membaca, terutama khusus mengenai tempat yang akan anda datangi, maka akan semakin mudah bagi anda untuk mencapai tahap penerimaan terhadap budaya baru. Besarnya kejutan yang anda alami tergantung dari mana anda datang, dan ke mana anda pergi. Jadi, akan sangat berguna kalau anda bisa bicara dengan orang-orang yang memahami apa saja perbedaan yang ada di kedua budaya, dan bagaimana memilih perbedaan-perbedaan penting yang perlu persiapkan.
Kalau anda tinggal di Jakarta, dan sedang mempersiapkan atau ingin tinggal di luar negeri untuk bekerja atau belajar, bicaralah kepada tim Aim. Meraka bisa membantu meminimalisir kejutan yang anda rasakan, dan mendorong anda memasuki tahap penerimaan dengan cepat. Di situlah sasaran anda; tahap di mana anda akan santai, produktif, dan tidak stress. Semoga berhasil!